Rabu, 27 April 2016

Mancung, itulah ciri fisik dari mudah dikenali dari salah satu tokoh dari perwayangan topeng Malangan. karakternya yang jahat dan suka menghasut ini menjadi penyebab kenapa ia memiliki hidung yang panjang.  



Uklam-Uklam Sam Exhibition

Sekartaji dan Bapang. Dua sosok yang berlawanan karakter dalam perwayangan topeng Malangan.

Minggu, 17 April 2016

Hello this is my opinions about Malang culinary especially lupis,cenil and klepon. The first opinion that i made in my "UKLAM-IKLAM SAM" photography and journalism exhibition last month.



LUPIS, CENIL DAN KLEPON YANG MULAI MENYEMPIT






Oleh: Wiji Ani Fitria


Selain terkenal dengan kota pendidikan, Malang juga terkenal dengan jajanannya yakni mulai dari jajanan yang tradisional hingga yang modern. Penikmatnyapun dari berbagai kalangan mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, dari pelajar sekolah hingga mahasiswa. Saat ini sedang gencar-gencarnya jejaring sosial menjadi media promosi hal hal baru salah satunya untuk makan. Untuk memperkenalkan sebuah jajanan tidak sesulit dulu, terlebih sekarang teknologi berkembang pesat. Hal baru apa yang tidak bisa diposting di media sosial? Lalu bagaimana kabar jajanan trasidional seperti cenil, lupis, klepon beserta kawan-kawannya yang sudah dikenal sejak jaman kolonial Belanda? Jajan yang dulunya terkenal dengan kekhasan rasa dan aroma pedesaan ini masihkah banyak peminat dan penjualnya? Lupis dan cenil misalnya, jajanan ini banyak dijual di pasar-pasar tradisional dengan pembeli yang mayoritas orang dewasa. Lupis dan cenil ini memiliki tekstur yang kenyal saat digigit karena berbahan dasar tepung beras. Dengan tambahan kelapa parut saat menyantapnya menjadikan jajanan ini terasa lebih gurih. Terlebih lagi dengan tambahan gula merah yang sudah dicairkan menambah kelezatan jajanan ini. Berbeda lagi dengan klepon, jajanan yang satu ini memiliki bentuk yang bulat dan berukuran sedikit kecil. Sensasi yang diberikan oleh jajanan ini terletak pada saat gigitan pertama yakni cairan manis yang memuncrat dan meleleh di dalam mulut karena gula merah yang menjadi isi dari jajanan yang kebanyakan berwarna hijau ini.  Seperti lupis dan cenil , klepon juga disantap dengan taburan parutan kelapa yang gurih.

  Dilihat dari segi rasa, jajanan ini tidakm jauh berbeda dengan jajanan-jajanan modern yang dijual di pusat perbelanjaan bahkan di cafe. Hanya saja dari segi kemasan jauh berbeda karena para penjual jajanan tradisional masih menggunakan daun dan kertas sebagai pembungkus. Jajanan yang seharusnya dilestarikan sebagai salah satu budaya kota Malang ini mulai menyempit dari sudut kota karena persaingan pasar yang makin hari makin tinggi seiring merebaknya jajanan modern yang didirikan oleh kebanyakan muda-mudi Malang, membuat pelanggannya mulai beralih.

Muda-mudi Malang saat ini sangat menggandrungi jajanan-jajanan ala luar negeri (kebarat-baratan) yang mulai banyak menghiasi sudut kota. Memanglah, dari segi harga jajanan modern ini terbilang lebih mahal. Selain mahal, maraknya postingan-postingan di media sosial menjadikannya tenar dan banyak peminat. Disamping itu, usaha makan milik muda-mudi ini juga menyediakan tempat dan suasana yang nyaman sehingga wajar jika khalayak umum mulai berpindah tempat. Berbeda dengan jajanan yang mulai bergeser keberadaannya yaitu tempat dan suasana yang masih kurang nyaman bagi khalayak umum, terlebih lagi bagi muda-mudi masyarakat Malang.

Kehadiran jajanan modern lambat laun menggeser keberadaan jajanan khas Malang ini. Bagaimana tidak, khalayak umum lebih suka mengeluarkan isi dompet di tempat tempat yang lebih menarik dibandingkan di pasar tradisional atau di pinggir jalan. Terlebih lagi muda-mudi generasi penerus bangsa yang seharusnya bisa mempertahankan kebudayaan dan warisan kota Malang justru mulai mempelajari budaya lain dan mulai mencampurkan adukkan keduanya. Tidakkah miris dengan keadaan seperti ini ? Lalu, dimana rasa kecintaan terhadap budaya? Siapa yang akan meneruskan dan melestarikan jajanan yang menjadi ciri khas Malang ini?

Seharusnya dengan adanya media sosial bisa menjadi alat bantu agar jenis jajanan ini bisa bertahan dan lebih banyak peminat serta penjualnya. Salah satunya dengan membuka tempat makan atau cafe bergaya modern yang menyediakan menu jajanan khas Malang. Dengan begitu, jajanan tradisional khas Malang ini tidak akan punah dan juga agar para calon generasi penerus lebih menghargai dan mencintai budaya Malang, bukan malah mempromosikan jajanan ala kebarat-baratan yang bukanlah menjadi budaya masyarakat Malang sendiri.

Seharusnya masyarakat Malang bangga karena memiliki ciri khas jajanan dan mulai berlomba-lomba untuk memperkenalkannya ke sektor yang lebih luas, luar kota bahkan luar negeri. Pemerintahpun tidak ketinggalan andil dalam pelestarian jajanan khas Malang ini, misalnya dengan menggelar festival-festival jajanan khas Malang setiap tahunnya. Dengan demikian jajanan ini akan tetap diminati semua kalangan di era apapun dan hingga kapanpun sebagai salah satu jajanan khas dari kota Malang.








Sabtu, 16 April 2016

my second news about Malang



Hermawan (37) salah seorang pekerja di rumah produksi milik Bambang yang sedang menyablon raket.


Belum banyak yang mengetahui bahwa Kelurahan Bandungrejosari, Kecamatan Sukun Kota Malang menyimpan potensi yang luar biasa di bidang pembuatan raket. Tidak heran jika raket buatan warga Bandungrejosari telah bertahan selama 61 tahun. Selain itu, raket buatan warga Bandungrejosari ini juga dipasok ke banyak daerah di Indonesia seperti Medan, Surabaya, Padang, Jakarta dan juga Sumatera. “Jumlah rumah produksi yang ada di Bandungrejosari ini kisaran 50an mbak,” ujar Bambang (39) yang merupakan salah satu pemilik rumah produksi yang ada di Bandungrejosari (22/3).
Bambang meneruskan usaha milik orang tuanya yang berdiri pada tahun 1979 dengan ‘King 79’ menjadi nama produk raket karyanya. Dalam usahanya mencari pelanggan, Bambang sempat manjadi sales yang menawarkan produknya dari kota ke kota sendiri tanpa campurtangan pemerintah, hingga pada saat ini memiliki enam pelanggan tetap yang tersebar di beberapa kota besar diantaranya Surabaya, Padang dan Jakarta. Pria yang memperkerjakan tujuh orang pekerja ini mengaku dapat meraup keuntungan 3-4 juta perharinya hingga sekarang. “Sekarang ini lagi ramai-ramainya pesanan mbak, sehari kadang sampai 600 biji raket yang kami hasilkan,” ujar Bambang kepada wartawan HMJF yang mengunjunginya.
Selaras dengan perusahaan “ABADI” yang juga bergerak di bidang pembuatan raket, perusahaan yang termasuk angkatan pertama yang digawangi oleh Kaeri (88)  ini memperoleh label Standar Nasional Indonesia (SNI) pada tahun 1966 dengan usahanya sendiri dan tanpa dukungan pemerintah. Hartini (38) sebagai pengelola administrasi di perusahaan ABADI mengatakan bahwa selama ini tidak ada bantuan sama sekali dari pemerintah. Padahal tidak sedikit pekerja yang meraup penghasilan dari perusahaan ABADI ini.
Terlebih lagi saat ini sangat banyak usaha rumahan warga sekitar yang juga bergerak di pembuatan raket tanpa memiliki izin kerja yang sah dari pemerintah. “Salah satunya usaha warga ini mbak, raket mereka tidak SNI dan menjualnyapun juga murah, otomatis kita kalah pasar dong?” ujar Hartini. Hal tersebut menjadi salah satu kendala yang sulit untuk diselesaikan. Meskipun banyak pesaing perusahaan yang memiliki beberapa merk raket ini tetap mengutamakan kualitasnya.
Hal ini juga ditegaskan dalam peraturan daerah kota malang nomor 5 tahun 2004 pasal 14 ayat 2 poin C tentang fungsi dari dinas perindustrian, perdagangan dan koperasi  yang berbunyi ‘Pelaksanaan pembinaan dan pengembangan perindustrian, perdagangan, promosi dan perlindungan konsumen serta koperasi dan UKM’. Bahwasannya pada pasal ini menegaskan bahwa fungsi dari dinas perindustrian, perdagangan dan koperasi ialah memberi pembinaan dan pengembangan dalam perindustrian, perdagangan, sekaligus sebagai promotor UKM. Namun pada kenyataanya pemerintah masih kurang dalam mendukung produksi raket Bandungrejosari padahal industri ini telah banyak merekrut pekerja dan mengharumkan nama kota Malang.
 Hal ini didukung dengan banyaknya warga Malang yang tidak mengetahui tentang industri raket yang ada di Bandungrejosari. Seperti Tantiya (21), mahasiswa kanjuruhan jurusan Pendidikan Bahasa Inggris ini tidak mengetahui sama sekali tentang adanya industri raket yang ada di Bandungrejosari. Ia hanya pernah melihat bapak bapak yang mengangkut raket setengah jadi dalam jumlah cukup besar. Sama halnya A’ar (22), si bungsu dari empat bersaudara ini juga mengaku tidak pernah tau tentang adanya industri raket di Malang. “Jika saja pemerintah melakukan sosialisasi dan promosi terhadap warga malang mungkin warga malang banyak yang tau dan bisa jadi akan memperluas sektor pada pemasaran raket hingga ke luar kota bahkan ke luar negeri”, ungkap A’ar. 
Hartini juga menambahkan bahwa semestinya pemerintah memberi bantuan permodalan atau pemasaran dalam industri ini agar dapat menembus pasar internasional dan secara tidak langsung akan mempengaruhi pendapatan perkapita warga Malang. “Selain itu, dukungan promosi perluasan pasar dari pemerintah juga tidak kalah penting dan penertiban pada usaha kecil rumahan perlu diperhatikan oleh pemerintah dalam pemasarannya,” imbuh Hartini saat ditemui di kediamannya (25/3).   

Kamis, 18 Februari 2016